Monday 26 December 2016

Hukum Forex Menurut Islam Salaf


Forex menurut Hukum Islam Banyak perbedaan pendapat tentang forex itu sendiri, ada yang mengatakan tidak boleh, tetapi ada juga yang mengatakan boleh. Dibawah ini adalah pendapat yang membolehkan dari beberapa forex itui sendiri (sedan yang tidak membolehkan forex itui sendiri, silahkan search di Google). Fit4global. wordpress hanya memberi wacana, dan hanya fokus ke riset ilmiah tentang pergerakan forex. Fit4global. wordpress memang didedikasikan untuk meriset secara logika dan ilmiah tentang pergerakan forex baik teknikal maupun fundamental. Sebagian umat islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdigangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Apa pendapat para ulama mengenai comercio forex, comercio saham, índice de comercio, saham, dan komoditi Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam Mari kita ikuti selengkapnya. Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menéndez cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Corán, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, ujar El Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN Suka Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apaká barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi karena satu que lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya en el aturan de res yang yang, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (foral adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan dalam kategori almasail almuashirah atau masala-masala hukum Islam kontemporer. Karena itu, estado hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masala hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masala hukum al-Sahrastani, es decir, dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqaI la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum, yang baru, muncul, mesti, diberikan, kepastian, hukumnya, melalui, ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum eni diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-ayan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran idea de atau alam. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, al-qisth, al-wasth, al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masala PBK dapat dimasukkán ke dalam bidang kaji fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum islam dalam pengertian bagaimana hukum islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalistasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang palidez mungkin dentro rangka melindungi pelaku dan pihak-yang pihak terlibat dentro Perdagangan Berjangka komoditi dentro ruang dan waktu Serta Pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan Bunyi UU Nº 32/1977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elasticidad hukum Islam dalam kelembagaan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum islam dapat dianalogikan dengan bahía al-salamajl biajil. Bahía al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay ajl biajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ras al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad. Akid), () () () () () () () () () () () () () () () () () Yang disebut dengan istilah musulmanes atau musulmanes ilaih. Objek transaksi (maqud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka y harga tukar (ras al-mal al-salam al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafiiyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa aqd al-salam adalah bah al-madum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (compra). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi, harus memenuhi, kejelasan mengenai: jenisnya (un yakun fi jinsin malumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalá, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupia atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupia, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogramo, estanque, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkán dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-aqd atau alasan ketidaktahu kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisán di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat miembro kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dentro pelaksanaannya masih ada pihak-yang pihak MERASA dirugikan dengan Peraturan perundang-yang Undangan ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau máxima legal yang berbunyi: MA La yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, tidak del maka perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan sinangat jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay al-salam. 1. Los Contratos Básicos de Cambio Existe un consenso general entre los juristas islámicos sobre la opinión de que las monedas de diferentes países pueden ser intercambiadas sobre una base spot a una tasa diferente de la unidad, ya que las monedas de diferentes países son entidades distintas con diferentes valores o valor intrínseco , Y el poder adquisitivo. También parece haber un acuerdo general entre la mayoría de los estudiosos sobre la opinión de que el intercambio de divisas a plazo no es permisible, es decir, cuando los derechos y obligaciones de ambas partes se refieren a una fecha futura. Sin embargo, existe una considerable diferencia de opinión entre los juristas cuando los derechos de cualquiera de las partes, que son iguales a las obligaciones de la contraparte, se aplazan a una fecha futura. Para elaborar, consideremos el ejemplo de dos individuos A y B que pertenecen a dos países diferentes, India y Estados Unidos respectivamente. A tiene la intención de vender rupias indias y comprar dólares estadounidenses. Lo contrario es cierto para B. El tipo de cambio rupia-dólar acordado es 1:20 y la transacción implica la compra y venta de 50. La primera situación es que A hace un pago al contado de Rs1000 a B y acepta el pago de 50 de B. La transacción se liquida sobre una base spot desde ambos extremos. Tales transacciones son válidas e islámicamente admisibles. No hay dos opiniones sobre el mismo. La segunda posibilidad es que la liquidación de la transacción de ambos extremos se difiera a una fecha futura, digamos después de seis meses a partir de ahora. Esto implica que tanto A como B harán y aceptarán el pago de Rs1000 o 50, según sea el caso, después de seis meses. La opinión predominante es que tal contrato no es islámicamente permisible. Una opinión minoritaria la considera admisible. El tercer escenario es que la transacción está parcialmente liquidada desde un solo extremo. Por ejemplo, A hace un pago de Rs1000 ahora a B en lugar de una promesa de B para pagar 50 a él después de seis meses. Alternativamente, A acepta 50 ahora de B y promete pagar Rs1000 a él después de seis meses. Existen opiniones diametralmente opuestas sobre la admisibilidad de tales contratos que equivalen a bai-salam en monedas. El propósito de este trabajo es presentar un análisis exhaustivo de varios argumentos en apoyo y en contra de la permisibilidad de estos contratos básicos que involucran monedas. La primera forma de contratación que implica el intercambio de contravalores sobre una base de punto es más allá de cualquier tipo de controversia. La admisibilidad o no del segundo tipo de contrato en el que se remite la entrega de uno de los contravalores a una fecha futura se discute generalmente en el marco de la prohibición riba. En consecuencia, discutimos este contrato detalladamente en la sección 2 que trata de la cuestión de la prohibición de riba. La admisibilidad de la tercera forma de contrato en la que la entrega de ambos contravalores es diferida, se discute generalmente en el marco de la reducción del riesgo y la incertidumbre o gharar involucrados en tales contratos. Este es, por lo tanto, el tema central de la sección 3 que trata de la cuestión de gharar. Sección 4 intentos de una visión holística de la Sharia se refiere a cuestiones como también la importancia económica de las formas básicas de contratación en el mercado de divisas. 2. La cuestión de la prohibición de Riba La divergencia de puntos de vista1 sobre la permisibilidad o no de los contratos de cambio en monedas se puede atribuir principalmente a la cuestión de la prohibición riba. La necesidad de eliminar riba en todas las formas de contratos de cambio es de suma importancia. Riba en su contexto sharia se define generalmente2 como una ganancia ilegal derivada de la desigualdad cuantitativa de los contravalores en cualquier transacción que pretenda efectuar el intercambio de dos o más especies (anwa), que pertenecen al mismo género (jins) y se rigen por La misma causa eficiente (illa). Riba se clasifica generalmente en riba al-fadl (exceso) y riba al-nasia (aplazamiento) que denotan una ventaja ilegal por exceso o aplazamiento respectivamente. La prohibición del primero se alcanza mediante una estipulación de que el tipo de cambio entre los objetos es unidad y ninguna ganancia es permisible a ninguna de las partes. Este último tipo de riba se prohíbe al no permitir la liquidación diferida y asegurarse de que la transacción sea liquidada in situ por ambas partes. Otra forma de riba se denomina riba al-jahiliyya o riba pre-islámica que surge cuando el prestamista pide al prestatario en la fecha de vencimiento si este último liquidará la deuda o aumentará la misma. El aumento se acompaña de cobrar intereses sobre la cantidad inicialmente prestada. La prohibición de riba en el intercambio de monedas que pertenecen a diferentes países requiere un proceso de analogía (qiyas). Y en cualquier ejercicio de analogía (qiyas), la causa eficiente (illa) desempeña un papel extremadamente importante. Es una causa eficiente común (illa), que conecta el objeto de la analogía con su sujeto, en el ejercicio del razonamiento analógico. La causa eficiente apropiada (illa) en caso de contratos de intercambio ha sido variadamente definida por las principales escuelas de Fiqh. Esta diferencia se refleja en el razonamiento análogo para las monedas de papel pertenecientes a diferentes países. Una cuestión de considerable importancia en el proceso del razonamiento análogo se relaciona con la comparación entre monedas de papel con oro y plata. En los primeros días del Islam, el oro y la plata cumplían todas las funciones del dinero (thaman). Las monedas se hicieron de oro y plata con un valor intrínseco conocido (cuánto de oro o plata contenido en ellos). Estas monedas se describen como thaman haqiqi, o naqdain en la literatura Fiqh. Estos eran universalmente aceptables como principal medio de intercambio, lo que representa una gran parte de las transacciones. Muchas otras mercancías, tales como varios metales inferiores, también sirvieron como medio de intercambio, pero con aceptabilidad limitada. Estos se describen como fals en la literatura Fiqh. Estos también se conocen como thaman istalahi debido al hecho de que su aceptabilidad no se deriva de su valor intrínseco, sino debido al estatus concedido por la sociedad durante un período de tiempo particular. Las anteriores dos formas de monedas han sido tratadas de manera muy diferente por los primeros juristas islámicos desde el punto de vista de la admisibilidad de los contratos que los implican. La cuestión que debe resolverse es si las monedas de papel de la presente era de la categoría anterior o de la segunda. Un punto de vista es que estos deben ser tratados a la par con thaman haqiqi o oro y plata, ya que estos sirven como el principal medio de intercambio y unidad de cuenta como este último. Por lo tanto, por razonamiento análogo, todas las normas relacionadas con la Sharia y los mandamientos aplicables a thaman haqiqi también deben aplicarse al papel moneda. El intercambio de thaman haqiqi se conoce como bai-sarf, y por lo tanto, las transacciones en monedas de papel deben ser gobernadas por las reglas de Sharia relevantes para bai-sarf. La opinión contraria sostiene que las monedas de papel deben ser tratadas de manera similar a fals o thaman istalahi debido al hecho de que su valor nominal es diferente de su valor intrínseco. Su aceptabilidad se deriva de su estatus legal dentro del país nacional o de su importancia económica global (como en el caso de dólares de los Estados Unidos, por ejemplo). 2.1. Una síntesis de puntos de vista alternativos 2.1.1. Razonamiento analógico (Qiyas) para la prohibición de Riba La prohibición de la riba se basa en la tradición de que el santo profeta (la paz sea con él) dijo: Vender oro para el oro, plata para la plata, trigo para el trigo, cebada para la cebada, Sal para la sal, en las mismas cantidades en el lugar y cuando las mercancías son diferentes, vender como le convenga, pero en el acto. Por lo tanto, la prohibición de la riba se aplica principalmente a los dos metales preciosos (oro y plata) y cuatro otras mercancías (trigo, cebada, dátiles y sal). También se aplica, por analogía (qiyas) a todas las especies que son gobernadas por la misma causa eficiente (illa) o que pertenecen a cualquiera de los géneros de los seis objetos citados en la tradición. Sin embargo, no hay un acuerdo general entre las diversas escuelas de Fiqh e incluso los académicos pertenecientes a la misma escuela en la definición e identificación de causa eficiente (illa) de riba. Para los Hanafis, la causa eficiente (illa) de riba tiene dos dimensiones: los artículos intercambiados pertenecen al mismo género (jins), estos poseen peso (wazan) o mensurabilidad (kiliyya). Si en un intercambio dado, ambos elementos de causa eficiente (illa) están presentes, es decir, los contravalores intercambiados pertenecen al mismo género (jins) y son todos pesables o todos medibles, entonces ninguna ganancia es permisible (el tipo de cambio debe Ser igual a la unidad) y el intercambio debe ser sobre una base de punto. En el caso del oro y la plata, los dos elementos de la causa eficiente (illa) son: unidad de género (jins) y peso. Ésta es también la opinión de Hanbali según una versión3. (Una versión diferente es similar a la vista de Shafii y Maliki, como se discute más adelante). Así, cuando el oro se cambia por oro, o la plata se cambia por plata, sólo las transacciones al contado sin ninguna ganancia son permisibles. También es posible que en un intercambio dado, uno de los dos elementos de la causa eficiente (illa) esté presente y el otro esté ausente. Por ejemplo, si los artículos intercambiados son todos pesables o mensurables, pero pertenecen a géneros diferentes (jins) o, si los artículos intercambiados pertenecen al mismo género (jins) pero ninguno es pesable ni mensurable, intercambie con ganancia (a una tasa diferente de Unidad) es permisible, pero el intercambio debe estar en una base del punto. Por lo tanto, cuando el oro se intercambia por la plata, la tasa puede ser diferente de la unidad, pero no se permite el establecimiento diferido. Si ninguno de los dos elementos de causa eficiente (illa) de riba están presentes en un intercambio dado, entonces ninguno de los mandatos para la prohibición riba se aplica. El canje puede tener lugar con o sin ganancia y ambos en un lugar o diferido. Considerando el caso de intercambio de monedas de papel pertenecientes a diferentes países, la prohibición riba requeriría una búsqueda de causa eficiente (illa). Las monedas pertenecientes a diferentes países son entidades claramente diferenciadas que son moneda de curso legal dentro de límites geográficos específicos con diferente valor intrínseco o poder adquisitivo. Por lo tanto, una gran mayoría de estudiosos acertadamente afirman que no hay unidad de género (jins). Además, no son ni pesables ni medibles. Esto lleva a una conclusión directa de que ninguno de los dos elementos de la causa eficiente (illa) de riba existe en tal intercambio. Por lo tanto, el canje puede tener lugar libre de cualquier prescripción sobre el tipo de cambio y la forma de liquidación. La lógica subyacente a esta posición no es difícil de comprender. El valor intrínseco de las monedas de papel pertenecientes a diferentes países difieren, ya que tienen un poder adquisitivo diferente. Además, el valor intrínseco o el valor de las monedas de papel no puede ser identificado o evaluado a diferencia de oro y plata que puede ser pesado. Por lo tanto, ni la presencia de riba al-fadl (por exceso), ni riba al-nasia (por aplazamiento) puede establecerse. La escuela Shafii de Fiqh considera la causa eficiente (illa) en caso de que el oro y la plata sean su propiedad de ser moneda (thamaniyya) o el medio de intercambio, unidad de cuenta y almacén de valor. Esta es también la vista de Maliki. Según una versión de este punto de vista, incluso si el papel o el cuero se convierte en el medio de intercambio y se le da el estatus de divisa, entonces todas las reglas relativas a naqdain, o oro y plata se les aplican. Así, según esta versión, es permisible el intercambio de monedas de diferentes países a una tasa distinta de la unidad, pero debe ser liquidado sobre una base puntual. Otra versión de las dos escuelas de pensamiento anteriores es que la citada causa eficiente (illa) de la moneda (thamaniyya) es específica del oro y la plata, y no puede generalizarse. Es decir, cualquier otro objeto, si se utiliza como medio de intercambio, no puede ser incluido en su categoría. Por lo tanto, según esta versión, los mandamientos de la Sharia para la prohibición riba no son aplicables a las monedas de papel. Las monedas pertenecientes a diferentes países se pueden intercambiar con o sin ganancia y tanto de forma puntual como diferida. Los defensores de la versión anterior citan el caso del intercambio de monedas de papel pertenecientes al mismo país en defensa de su versión. La opinión consensuada de los juristas en este caso es que dicho intercambio debe ser sin ganancia o a una tasa igual a la unidad y debe ser liquidado sobre una base spot. Si se considera la Hanafi y la primera versión de la posición Hanbali, entonces, en este caso, sólo una dimensión de la causa eficiente (illa) está presente, es decir, pertenecen al mismo género (jins ). Pero las monedas de papel no son ni pesables ni mensurables. Por lo tanto, la ley de Hanafi permitiría al parecer el intercambio de cantidades diferentes de la misma moneda sobre una base del punto. Del mismo modo, si la causa eficiente de la moneda (thamaniyya) es específica sólo para el oro y la plata, entonces la ley Shafii y Maliki también permitiría lo mismo. Huelga decir que esto equivale a permitir préstamos y préstamos basados ​​en riba. Esto demuestra que es la primera versión del pensamiento de Shafii y Maliki que subyace a la decisión de consenso de prohibición de ganancia y liquidación diferida en caso de cambio de divisas pertenecientes al mismo país. Según los proponentes, extender esta lógica al intercambio de monedas de diferentes países implicaría que el intercambio con ganancia oa una tasa diferente de la unidad es permisible (ya que no hay unidad de jin), pero la liquidación debe ser sobre una base puntual. 2.1.2 Comparación entre Currency Exchange y Bai-Sarf Bai-sarf se define en la literatura Fiqh como un intercambio que implica el thaman haqiqi, definido como oro y plata, que sirvió como principal medio de intercambio para casi todas las transacciones importantes. Los partidarios de la opinión de que cualquier intercambio de monedas de diferentes países son iguales a los bai-sarf sostienen que en la actualidad las monedas de papel han reemplazado eficaz y completamente el oro y la plata como medio de intercambio. Por lo tanto, por analogía, el intercambio que involucra tales monedas debe ser gobernado por las mismas reglas de Sharia y mandamientos como bai-sarf. También se argumenta que si se permite la liquidación diferida por cualquiera de las partes en el contrato, esto abriría las posibilidades de riba-al nasia. Los opositores de la categorización del intercambio de moneda con bai-sarf sin embargo señalan que el intercambio de todas las formas de la moneda (thaman) no se puede llamar bai-sarf. Según este punto de vista, bai-sarf implica el intercambio de monedas de oro y plata (thaman haqiqi o naqdain) y no de dinero pronunciado como tal por las autoridades estatales (thaman istalahi). Las monedas de la era actual son ejemplos de esta última clase. Estos eruditos encuentran apoyo en aquellos escritos que afirman que si las mercancías de intercambio no son oro o plata, (aunque sea una de ellas es oro o plata) entonces, el intercambio no puede ser llamado como bai-sarf. Tampoco las estipulaciones relativas al bai-sarf serían aplicables a tales intercambios. Según el Imam Sarakhsi, cuando un individuo compra falsos o monedas hechas de metales inferiores, como el cobre (thaman istalahi) por dirhams (thaman haqiqi) y hace un pago al contado de este último, pero el vendedor no tiene fals en ese momento , Entonces dicho intercambio es permisible. La toma de posesión de mercancías intercambiadas por ambas partes no es una condición previa (mientras que en el caso de bai-sarf, lo es). Existen varias referencias similares que indican que los juristas no clasifican un intercambio de fals (thaman istalahi) por otro fals Thaman istalahi) o oro o plata (thaman haqiqi), como bai-sarf. Por lo tanto, los intercambios de monedas de dos países diferentes que sólo pueden calificar como thaman istalahi no pueden ser clasificados como bai-sarf. Tampoco puede imponerse la restricción relativa a la liquidación al contado de tales transacciones. Cabe señalar aquí que la definición de bai-sarf se proporciona Fiqh literatura y no hay mención de lo mismo en las tradiciones santas. Las tradiciones mencionan la riba, y la venta y compra de oro y plata (naqdain), que puede ser una fuente importante de riba, es descrita como bai-sarf por los juristas islámicos. También hay que señalar que en la literatura Fiqh, bai-sarf implica el intercambio de oro o plata sólo si se están utilizando actualmente como medio de intercambio o no. Intercambio de dinares y adornos de oro, tanto de calidad como bai-sarf. Varios juristas han tratado de aclarar este punto y han definido el sarf como aquel intercambio en el cual ambas mercancías intercambiadas están en la naturaleza de thaman, no necesariamente thaman ellos mismos. Por lo tanto, incluso cuando una de las mercancías se procesa oro (digamos, adornos), ese intercambio se llama bai-sarf. Los defensores de la opinión de que el cambio de divisas debe ser tratado de una manera similar a bai-sarf también derivan el apoyo de escritos de eminentes juristas islámicos. Según el Imam Ibn Taimiya, cualquier cosa que desempeñe las funciones de medio de intercambio, unidad de cuenta y almacenamiento de valor se llama thaman, (no necesariamente limitada a oro y plata). Referencias similares están disponibles en los escritos del Imam Ghazzali5. En cuanto a las opiniones del Imam Sarakhshi sobre el intercambio de fals, según ellos, hay que tener en cuenta algunos puntos adicionales. En los primeros días del Islam, los dinares y dirhams hechos de oro y plata se usaban principalmente como medio de intercambio en todas las transacciones importantes. Sólo los menores se asentaron con fals. En otras palabras, fals no poseía las características de dinero o thamaniyya en su totalidad y apenas se usaba como almacén de valor o unidad de cuenta y era más en la naturaleza de la mercancía. Por lo tanto no hubo restricción en la compra de la misma para el oro y la plata sobre una base aplazada. Las monedas actuales tienen todas las características de thaman y están destinadas a ser sólo thaman. El intercambio con monedas de diferentes países es el mismo que bai-sarf con diferencia de jins y por lo tanto, el establecimiento diferido llevaría a riba al-nasia. El Dr. Mohamed Nejatullah Siddiqui ilustra esta posibilidad con un ejemplo6. Escribe en un momento dado cuando la tasa de cambio del mercado entre dólar y rupia es de 1:20, si un individuo compra 50 a la tasa de 1:22 (liquidación de su obligación en rupias aplazada a una fecha futura), entonces Es muy probable que lo sea. De hecho, el endeudamiento Rs. 1000 ahora en lugar de una promesa de reembolsar Rs. 1100 en una fecha posterior especificada. (Puesto que, él puede obtener Rs 1000 ahora, intercambiando los 50 comprados en el crédito en la tarifa al contado). Por lo tanto, sarf se puede convertir en préstamo prestado del préstamo de interés-basado. 2.1.3 Definir Thamaniyya es la clave De la síntesis anterior de puntos de vista alternativos parece que la cuestión clave parece ser una definición correcta de thamaniyya. Por ejemplo, una cuestión fundamental que lleva a posiciones divergentes sobre la permisibilidad se refiere a si el thamaniyya es específico del oro y la plata, o puede asociarse con cualquier cosa que desempeñe las funciones del dinero. A continuación se plantean algunas cuestiones que pueden tenerse en cuenta en cualquier ejercicio de reconsideración de posiciones alternativas. Debe apreciarse que el thamaniyya puede no ser absoluto y puede variar en grados. Es cierto que las monedas de papel han reemplazado completamente el oro y la plata como medio de intercambio, unidad de cuenta y almacén de valor. En este sentido, las monedas de papel se puede decir que poseen thamaniyya. Sin embargo, esto es cierto sólo para las monedas nacionales y puede no ser cierto para las monedas extranjeras. En otras palabras, las rupias indias poseen thamaniyya dentro de los límites geográficos de la India solamente, y no tienen ninguna aceptabilidad en los Estados Unidos. Estos no se puede decir que poseen thamaniyya en EE. UU. a menos que un ciudadano de EE. UU. puede utilizar rupias indias como un medio de intercambio, o unidad de cuenta, o almacén de valor. En la mayoría de los casos tal posibilidad es remota. Esta posibilidad es también una función del mecanismo de tipo de cambio vigente, como la convertibilidad de las rupias indias en dólares estadounidenses y si existe un sistema de tipo de cambio fijo o flotante. Por ejemplo, asumiendo la convertibilidad libre de rupias indias en dólares estadounidenses y viceversa, y un sistema de tipo de cambio fijo en el que no se espera que el tipo de cambio rupia-dólar aumente o disminuya en el futuro previsible, . El ejemplo citado por el Dr. Nejatullah Siddiqui también parece bastante sólido en las circunstancias. El permiso para canjear rupias por dólares en base diferida (desde un extremo, por supuesto) a una tasa diferente del tipo al contado (tasa oficial que es probable que permanezca fijo hasta la fecha de liquidación) sería un claro caso de interés basado en Préstamos y préstamos. Sin embargo, si se supone que el supuesto de tipo de cambio fijo es relajado y se asume que el actual sistema de tipos de cambio fluctuantes y volátiles es el caso, entonces se puede demostrar que el caso de riba al-nasia se descompone. Reescribimos su ejemplo: En un momento dado en que la tasa de cambio del mercado entre el dólar y la rupia es 1:20, si un individuo compra 50 a la tasa de 1:22 (liquidación de su obligación en rupias aplazada a una fecha futura ), Entonces es muy probable que lo sea. De hecho, el endeudamiento Rs. 1000 ahora en lugar de una promesa de reembolsar Rs. 1100 en una fecha posterior especificada. (Puesto que, ahora puede obtener Rs 1000, intercambiando los 50 adquiridos a crédito al tipo de cambio al contado). Esto sería así, sólo si el riesgo cambiario es inexistente (el tipo de cambio permanece en 1:20), o es soportado por el vendedor De dólares (el comprador paga en rupias y no en dólares). Si el primero es cierto, entonces el vendedor de los dólares (prestamista) recibe un rendimiento predeterminado de diez por ciento cuando convierte Rs1100 recibido en la fecha de vencimiento en 55 (a un tipo de cambio de 1:20). Sin embargo, si esto último es cierto, entonces el retorno al vendedor (o al prestamista) no está predeterminado. Ni siquiera es positivo. Por ejemplo, si el tipo de cambio rupia-dólar aumenta a 1:25, entonces el vendedor de dólar recibiría sólo 44 (Rs 1100 convertido en dólares) por su inversión de 50. Aquí dos puntos son dignos de mención. En primer lugar, cuando se asume un régimen de tipo de cambio fijo, la distinción entre monedas de diferentes países se diluye. La situación se vuelve similar al intercambio de libras esterlinas (monedas pertenecientes al mismo país) a una tasa fija. En segundo lugar, cuando se asume un sistema de tipo de cambio volátil, entonces, tal como se puede visualizar el préstamo a través del mercado de divisas (mecanismo sugerido en el ejemplo anterior), también se puede visualizar el préstamo a través de cualquier otro mercado organizado (por ejemplo, . En el momento en que el precio de mercado de la acción X es Rs 20, si un individuo compra 50 acciones a razón de Rs 22 (liquidación de Su obligación en rupias aplazada a una fecha futura), entonces es muy probable que lo sea. De hecho, el endeudamiento Rs. 1000 ahora en lugar de una promesa de reembolsar Rs. 1100 en una fecha posterior especificada. En este caso también como en el ejemplo anterior, las devoluciones al vendedor de las acciones pueden ser negativas si el precio de las acciones se eleva a Rs 25 en la liquidación fecha. Por lo tanto, al igual que los rendimientos en el mercado de valores o de materias primas son islámicamente aceptables debido al riesgo de precio, también lo son los rendimientos en el mercado de divisas debido a las fluctuaciones en los precios de las monedas. Una característica única de thaman haqiqi o oro y plata es que el valor intrínseco de la moneda es igual a su valor nominal. Por lo tanto, la cuestión de los diferentes límites geográficos dentro de los cuales circula una moneda determinada, como dinar o dirham, es completamente irrelevante. El oro es oro, ya sea en el país A o en el país B. Así, cuando la divisa del país A de oro se cambia por moneda del país B, también hecha de oro, entonces cualquier desviación del tipo de cambio de la unidad o diferimiento de liquidación por cualquiera de las partes No puede ser permitido ya que implicaría claramente riba al-fadl y también riba al-nasia. Sin embargo, cuando las monedas de papel del país A se intercambian por el papel moneda del país B, el caso puede ser completamente diferente. El riesgo de precio (riesgo de tipo de cambio), si es positivo, eliminaría cualquier posibilidad de riba al-nasia en el canje con liquidación diferida. Sin embargo, si el riesgo de precio (riesgo de tipo de cambio) es cero, dicho intercambio podría ser una fuente de riba al-nasia si se permite la liquidación diferida7. Otro punto que merece una seria consideración es la posibilidad de que ciertas monedas puedan poseer thamaniyya, es decir, utilizado como medio de intercambio, unidad de cuenta o almacén de valor a nivel mundial, tanto dentro como fuera del país. Por ejemplo, el dólar estadounidense es moneda de curso legal dentro de los EE. UU. también es aceptable como medio de intercambio o unidad de cuenta para un gran volumen de transacciones en todo el mundo. Por lo tanto, se puede decir que esta moneda específica posee thamaniyya a nivel mundial, en cuyo caso, los juristas pueden imponer los mandatos pertinentes sobre los intercambios que implican esta moneda específica para prevenir riba al-nasia. El hecho es que cuando una moneda posee thamaniyya globalmente, las unidades económicas que utilizan esta moneda global como medio de cambio, unidad de cuenta o almacén de valor pueden no estar preocupadas por el riesgo derivado de la volatilidad de los tipos de cambio entre países. Al mismo tiempo, debe reconocerse que una gran mayoría de las monedas no desempeñan las funciones de dinero, excepto dentro de sus fronteras nacionales cuando éstas son moneda de curso legal. Riba y el riesgo no pueden coexistir en el mismo contrato. El primero conoce una posibilidad de rendimientos con riesgo cero y no puede ganarse a través de un mercado con riesgo de precio positivo. Como se ha discutido anteriormente, la posibilidad de riba al-fadl o riba al-nasia puede surgir a cambio cuando el oro o la plata funcionan como thaman o cuando el intercambio implica monedas de papel pertenecientes al mismo país o cuando el intercambio implica monedas de diferentes países Siguiendo un sistema de tipo de cambio fijo. La última posibilidad es tal vez unísmica8, ya que se debe permitir que el precio o el tipo de cambio de las monedas fluctúen libremente en línea con los cambios en la demanda y la oferta y también porque los precios deben reflejar el valor intrínseco o el poder adquisitivo de las monedas. Los mercados de divisas de hoy se caracterizan por tipos de cambio volátiles. Las ganancias o pérdidas realizadas en cualquier transacción en monedas de diferentes países, se justifican por el riesgo asumido por las partes en el contrato. 2.1.4. Posibilidad de Riba con futuros y forwards Hasta ahora, hemos discutido puntos de vista sobre la permisibilidad de bai salam en divisas, es decir, cuando la obligación de sólo una de las partes en el intercambio se aplazó. Cuáles son las opiniones de los académicos sobre el aplazamiento de las obligaciones de ambas partes. Un ejemplo típico de tales contratos son forwards y futuros9. Según una gran mayoría de estudiosos, esto no es permisible por diversos motivos, siendo el más importante el elemento de riesgo e incertidumbre (gharar) y la posibilidad de especulación de un tipo que no es permisible. Esto se discute en la sección 3. Sin embargo, otro motivo para rechazar tales contratos puede ser riba prohibición. En el párrafo anterior hemos discutido que bai salam en monedas con tipos de cambio fluctuantes no puede ser utilizado para ganar riba debido a la presencia de riesgo de moneda. Es posible demostrar que el riesgo de divisa puede ser cubierto o reducido a cero con otro contrato a término negociado simultáneamente. Y una vez que se elimine el riesgo, la ganancia sería claramente riba. Modificamos y reescribimos el mismo ejemplo: En un momento dado en que la tasa de cambio del mercado entre dólar y rupia es de 1:20, una persona compra 50 a la tasa de 1:22 (liquidación de su obligación en rupias aplazada a una Fecha futura), y el vendedor de dólares también cubre su posición mediante la celebración de un contrato a término para vender Rs1100 a recibir en la fecha futura a una tasa de 1:20, entonces es muy probable que lo sea. De hecho, el endeudamiento Rs. 1000 ahora en lugar de una promesa de reembolsar Rs. 1100 en una fecha posterior especificada. El vendedor de los dólares (prestamista) recibe un rendimiento predeterminado de diez por ciento cuando convierte Rs1100 recibidos en la fecha de vencimiento en 55 dólares (al Un tipo de cambio de 1:20) para su inversión de 50 dólares, independientemente del tipo de cambio de mercado vigente en la fecha de vencimiento. Otra forma sencilla de obtener riba puede incluso implicar una transacción al contado y una transacción simultánea hacia adelante. Por ejemplo, el individuo en el ejemplo anterior compra 50 en una base de punto a la tasa de 1:20 y simultáneamente celebra un contrato a término con la misma parte para vender 50 a la tasa de 1:21 después de un mes. En efecto, esto implica que está prestando Rs1000 ahora al vendedor de dólares por un mes y gana un interés de Rs50 (que recibe Rs1050 después de un mes. Esto es un típico de recompra o recompra transacción tan común en la banca convencional .10 3. La cuestión de la libertad de Gharar Gharar, a diferencia de la riba, no tiene una definición de consenso. En términos generales, connota el riesgo y la incertidumbre. Es útil para ver el gharar como un continuo de riesgo e incertidumbre donde el punto extremo de zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11 . Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc . are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Ferex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan / komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan ALAT bayar yaitu Uang yang-Masing Masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga en relieve PERBANDINGAN Nilai MATA Uang antar negara. Perbandingan nilai mata uang y antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berluktuasi) setiap saat sesuai volumen permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawil inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima PENJUELO MENYERAHKAN BARANG PENJAMI MEMBAYAR TUNAI. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan hukum (dewasa dan Sehat berpikiran) Tindakan-Tindakan 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi yaitu jual-beli: barangnya Suci (najis Bukan) de Dapat dimanfaatkan de Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh Pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada diceangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli salam itu diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli el aire de la mano, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkán sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudiano jika barang sesuai dengan keterangán penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar . artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam yang terpendam masih, ketela seperti, kentang, Bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena Akan mengalami kesulitan atau kerugian jika Harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam Untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus / tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, sebagainya dan, asalkam diberi etiqueta yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al-Asbah al-Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA QUE ASA DAN SAHAM Yang dimaksud dengan el valor adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, libra esterlina Inggris, ringgit Malasia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh idee dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul península perminataan di bursa valuta asing. Setiap, negara, berwenang, penuh, menetapkan, kurs, masing-masing (kurs adalah, perbandingan, nilai uangnya, terhadap, mata uang asing) Misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) Like this:Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam Sebagian umat Islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Apa pendapat para ulama mengenai trading forex. trading saham, trading index, saham, dan komoditi Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam Mari kita ikuti selengkapnya. Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menéndez cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Corán, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, ujar El Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN Suka Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apaká barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi karena satu dan lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya en el aturan de res yang yang, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (foral adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan dalam kategori almasail almuashirah atau masala-masala hukum Islam kontemporer. Karena itu, estado hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masala hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masala hukum al-Sahrastani, es decir, dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqaI la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum, yang baru, muncul, mesti, diberikan, kepastian, hukumnya, melalui, ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum eni diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-ayan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran idea de atau alam. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, al-qisth, al-wasth, al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masala PBK dapat dimasukkán ke dalam bidang kaji fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum islam dalam pengertian bagaimana hukum islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalistasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang palidez mungkin dentro rangka melindungi pelaku dan pihak-yang pihak terlibat dentro Perdagangan Berjangka komoditi dentro ruang dan waktu Serta Pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan Bunyi UU Nº 32/1977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elasticidad hukum Islam dalam kelembagaan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum islam dapat dianalogikan dengan bahía al-salamajl biajil. Bahía al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay ajl biajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ras al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut: a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih. Objek transaksi (maqud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka y harga tukar (ras al-mal al-salam al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafiiyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa aqd al-salam adalah bah al-madum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (compra). b) Syarat-syarat Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin malumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalá, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupia atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupia, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogramo, estanque, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkán dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-aqd atau alasan ketidaktahu kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisán di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat miembro kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dentro pelaksanaannya masih ada pihak-yang pihak MERASA dirugikan dengan Peraturan perundang-yang Undangan ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau máxima legal yang berbunyi: MA La yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, tidak del maka perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay al-salam. Jual Beli Mata Uang FATWA DEWAN SYARI8217AH NASIONAL NO: 28/DSN-MUI/III/2002 Tentang JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF) Menimbang : Mengingat : Memperhatikan : MEMUTUSKAN : Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELÍ MATA UANG (AL-SHARF) Pertama. Ketentuan Umum: Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: Tidak untuk spekulasi (untung-untungan) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai ( at-taqabudh ). Apabila berlainan jenis maka, harus, dilakukan, dengan, nilai, tukar (kurs), yang berlaku, pada saat, transaksi, dilakukan y secara tunai. Kedua. Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing Transaksi Spot . yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu ( over the counter ) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh. karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari ( ) dan merupakan transaksi internasional. Transaksi Delantero. Yaitu transaksi pembélian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram. karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan ( muwa8217adah ) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari ( lil hajah ). Intercambio de Transaksi. Yaitu suatu kontrak pembeliano atau penjualan valas dengan harga punto yang dikombinasikan dengan pembélian antara penjualan valas yang sama dengan harga adelante. Hukumnya haram, karena mengandung unsur másir (spekulasi). Opción Transaksi. Yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unidad valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur másir (spekulasi). Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuano jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M Dalam Islam sendiri sebetulnya mata uang yang dipakai adalah Dinar emas dan Dirham perak. Penukaran emas dengan emas harus sama dan dilakukan karena kebutuhan. Nah saat ini yang dipakai adalah mata uang kertas yang nilainya berubah-rubah sesuai dengan harga yang ditetapkan pelaku pasar (uang kertas sebetulnya tak ada nilai intrinsiknya seperti uang emas/perak). Nah jika jual-beli ini karena kebutuhan, misalnya saya ingin pergi haji ke Arab Saudi, sementara di sana rupiah tidak laku. Mau tidak mau, saya harus menukarnya dengan real Saudi agar bisa belanja di sana. Itu dibolehkan. Tapi jika tidak ada kebutuhan seperti itu, tapi hanya sekedar berspekulasi siapa tahu jika nilai rupiah naik/turun dia akan untung, maka itu sudah spekulatif atau seperti judi. Tidak dibenarkan dalam Islam. btul gan..2 orang masuk masjid bersama2 satunya niat ibadah ikhlas, ampyg satunya niat dlm htinya tercampur ujub/biar dibilang alim itupun beda..yg jlas smua ada tuntunannya cman qt aj yg g mau blajar. niatnya bnar jalannya bnar baru itu halal. Beda niatnya bnar jlnya salah ya SALAH. Beda itu mas, maksud anda itu money changer dan bukan foreign exchange (forex). Tukar mata uang itu money changer8230. Harap dibedakan antara pedagang cabe dengan pemain saham atau pun forex/valas. Pedagang cabe sebagaimana bisnis perdagangan umum berfungsi mengantarkan barang kebutuhan ke pemakai/rakyat. Jalurnya: Produsen-gtDistributor-gtPedagang Retail-gtRakyat Para pedagang ini punya manfaat dan berusaha menjual barangnya secepatnya ke rakyat. Sebaliknya pemain saham/forex itu sebetulnya justru menghalangi sampainya barang kebutuhan kepada pemakai/rakyat. Mereka membelinya pada harga murah dan menimbunnya hingga harga naik agar untung. Skemanya: Produsen-gtDistributor-gtPemain Forex-gtPemain Forex-gtPemain Forex..dst-gtRakyat Pemain saham/forex itu tak lebih dari penimbun yg baru menjual saat harga naik: Dasar hukum pelarangan menimbun barang adalah hasil induksi dari nilai-nilai universal yang dikandung Al-Quran yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya diharamkan. Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. QS. Al-Maidah (5): 2. Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. QS. Al-Haj (22): 78. Allah tidak hendak menyulitkan kamu. QS. Al-Maidah (5): 6. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. QS. Al-Baqarah (2): 279. Rasulullah saw. bersabda, Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat. (HR. At-Tabrani dai maqil bin Yasar). Rasulullah saw. berkata, Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah. (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Rasulullah saw. bersabda, Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya. (HR. Ibnu Umar). alhikmah. ac. id/2011/tidak-boleh-menimbun-barang/ Dari Moderator pertanyaan sdr dherwandy langsung dijawab. dherwandy: coba sy simpulkan: pengharaman (dr penjelasan teman2 diatas) trading valas jgn berharap ada dalil yg qath8217i dr quran dan hadist, krn trading valas blm ada pd masa Rasulullah SAW. Tp bisa dilakukan qiyas dgn sangat jelas8230sehingga kita dapatkan ada bbrp unsur yg sama dgn sesuatu yg haram, yaitu: 1. maisir/spekulasi yg jauh berbeda dgn analisa dlm perdagangan8230 (masalah ini sy butuh penjelasan yg lbh dalam soal letak perbedaannya dmana. ) Jawab: Sesuatu bukan maisir/spekulasi jika memang dia membeli sesuatu karena kebutuhan atau untuk dijual segera kepada orang yang membutuhkan. Misalnya beli beras untuk dimakan atau menjualnya secepat mungkin kepada orang yang membutuhkan. Namun jika dia membeli barang tsb dengan harapan akan menjual lagi saat harga barang tsb naik, ini sudah kategori menimbun dan spekulasi. Meski dia pakai berbagai alat analisa perdagangan juga tetap spekulasi. Contohnya perusahaan sekuritas saya dulu (BS) meski punya banyak Manajer Investasi dan juga alat analisa perdagangan saham seperti RTI, IMQ, Metastock, dsb, tetap saja rugi dan bangkrut. Begitu pula perusahaan seperti Sarijaya Securities di mana uang Rp 250 milyar milik nasabahnya ikut melayang. Juga perusahaan investasi seperti Lehman Brothers: infoindonesia. wordpress/2010/09/23/skandal-penipuan-di-bursa-saham-enron-sarijaya-rina-dsb/ dherwandy: 2. penimbunan, krn melepas mata uang kembali semata2 menunggu nilai mata uang naik, berbeda dgn perdagangan krn barang dilepas/dijual mmg dibutuhkan oleh masyarakat8230 (yang ini sy setuju banget). Jawab: Sama saja dengan barang. Banyak orang yg butuh valas untuk kebutuhan mereka seperti membayar hutang atau pembayaran barang. Saat para spekulan valas menimbun uang, maka harganya pun naik. Contohnya spekulan valas turunan Yahudi, George Soros, membuat mata uang Rupiah hancur dari Rp 2.400/1 USD jadi Rp 16.700/1 USD. Dalam hitungan beberapa bulan dia membuat ratusan juta rakyat Indonesia miskin karena ulahnya membuat uang rakyat Indonesia jadi berkurang nilainya hingga 1/6 saja. Dari Mamar bin Abdullah ra, Rasulullah bersabda: Tidak ada yang menimbun (agar harga naik), kecuali orang yang berdosa (HR Muslim) Kalau pada perdagangan tradisional setiap rantai berusaha mendekatkan barang ke para pemakai dengan secepat-cepatnya dengan skema: Maka pada perdagangan saham, 90 lebih justru berputar-putar antara pemain saham. Mereka cenderung menimbun agar harga saham jadi naik: Rasulullah saw. bersabda, Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat. (HR. At-Tabrani dai maqil bin Yasar). Rasulullah saw. berkata, Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah. (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Rasulullah saw. bersabda, Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya. (HR. Ibnu Umar). dherwandy: 3. riba, krn memperdagangkan barang ribawi yg sejenis, bkn jual beli komoditi. (yang ini sy jg setuju). Terima kasih kalau ada yg bisa memberikan penjelasan lbh dalam dan detail utk point 1. SEMUA KEBENARAN HANYA MILIK ALLAH. kita manusia wajib ihtiar, semua penjelasan dan dalil dalil diatas masih belum memberi sebuah jawaban yang pasti antara halal dan haram, jadi pilih salah satu dan lihat akibatnya. dari beberapa orang memang halal dan haramnya bagaimana memandangnya saja. bisa halal bisa haram. tapi seperti ini apa tidak termasuk mempermainkan hukum agama Salam kenal semua8230 Dari Fatwa MUI tsb terlihat ada jenis transaksi yang diperbolehkan dan ada yang dilarang. Yang dihalalkan cuma Spot, sedangkan Transaksi Forward, Swap, Option termasuk yang dilarang (haram). Jadi kalau ada yang bilang bahwa keseluruhan transaksi Forex itu diperbolehkan MUI, artinya telah berdusta atas nama MUI . Nah, ternyata Forex Online TIDAK memenuhi jenis transaksi SPOT. Silahkan baca di: genghiskhun/perbedaan-alur-judi-dengan-jual-beli-biasa Sedangkan Judi itu sendiri, tidak berhubungan sama sekali dengan 8220analisa kuat disertai ilmu pengetahuan yang cukup8221 Forex Online bisa disamakan dengan Judi Bola. Walaupun sama-sama memakai 8220analisa yang kuat disertai ilmu pengetahuan yang cukup8221, lalu adu tebak pemenang, tetaplah Judi. Trims Saya belum sempat baca semua isi blog Genghiskhun, jadi saya tidak bisa katakan saya setuju sepenuhnya. Tapi apa yang dikatakan ada benarnya. Saya pernah mengkaji ini bersama guru ngaji saya. Beliau menuturkan kurang lebih seperti ini (saya agak lupa), 8220Kalau sesuatu yang dibeli lalu dijual saat harga naik adalah haram, lalu orang yang BELI TANAH dan DIJUAL SAAT HARGA NAIK apa bukan 8216spekulasi8217 Apa itu haram Apa yang tidak spekulasi Apa ada yang pasti8221 NB. Maksudnya dalam jual beli atau sejenisnya. Kalau kematian, kita sepakat itu adalah KEPASTIAN. Saya juga pernah membaca artikel tapi lupa dari mana. Inti dari JUDI adalah adanya PERPINDAHAN HARTA. Artinya, kita menyerahkan uang (harta) dan ada kemungkinan uang kita bertambah dan ada kemungkinan uang kita benar-benar berpindah (HILANG / HABIS) Wallahu a8217alam. Kebenaran hanya milik Alloh. Semoga Alloh mengampuni saya jika ada kalimat saya yang salah. Numpang Bertanyak Bro.. Bagaimana dengan bisnis di masadepan, saya nanam modal 1 juta lalu sy dibayar 40 setiap bulan selama 6 bulan lihat contoh dibawah ini Macam2 paketnya antara lain: 1. Pertanggungan Kredit 1 Tahun (Setor 3x Angsuran Untuk Membayar Cicilan Selama 1 Tahun. Total Pembayaran 400) Contoh. Jika cicilan motor anda perbulan sebesar Rp 500.000, maka anda menginvestasikan uang sebesar 3 x Rp 500.000 Rp 1.500.000. Dan pengkreditan motor anda selama 1 tahun ditanggung oleh pengelolah (KOPERASI TELEMATIKA INDONESIA) 2. Tabungan Investasi 6 Bulan ( Tabungan Investasi Berjangka 6 Bulan dengan ROI 40 per Bulan. Total Pembayaran 240. Balik Modal 2,5 Bulan ) Contoh. Anda menginvestasi 10 unit, perunit sebesar Rp 500.000 jadi total investasi anda adalah RP 5.000.000,-. maka setiap bulan anda mendapatkan 2.000.000/bln selama 6 bulan, total keselurahan uang anda menjadi Rp 12.000.000,- 3. Tabungan Haji MAPAN ( Hanya Setor Rp. 1.000.000,- anda Sudah Bisa Berangkat Umroh pada Bulan ke 12 dan Naik Haji Setelah Bulan ke-17. ) Contoh. Sudah Jelas 4. Tabungan Beasiswa MAPAN ( Beasiswa sebesar 100 dari Dana yang disetorkan yang bisa diambil per 6 Bulan ) Ket. Merupakan Produk Tabungan untuk menjamin kelangsungan pendidikan. Anda bisa memilih Paket Biasiswa yang anda inginkan mulai dari Rp. 1.000.000,- dan anda akan mendapatkan beasiswa sebesar 100 dari dana yang anda setorkan yang bisa diambil setiap semester (6 bulan) selama 5 tahun (10 semester). Atas Pendapatnya sy ucapkan terima kasih telematika bisnisnya forex WASPADALAH, yang jelas aja mas seperti koperasi langit biru ada barang konkritnya Sebaiknya anda istighfar dan minta ampun kepada Allah. Semoga Allah mengampuni. Perbuatlah kebaikan dgn uang tsb. kasus 1 - saya membeli buah durian di suatu kebun untuk di jual di kota dgn harapan nanti di kota buah durian saya laku (apakan ini spekulasi) 8211 setelah sampe di kota durian saya tidak laku (laku tapi merugi krn hanya sedikit yang laku) - saat saya membeli dikebun saya sepakat harga pembelian dgn harapan di kota saya menjual dgn harga yg lebih tinggi dari saya beli (masih harapan..krn saya belum pernah bersepakat dengan calon pembeli durian saya di kota) kasus 2 - saya trading forex ambil posisi buy saat harga diposisi 1.0 (misalnya) Harga diketahui(disepakati) dengan harapan posisi harga akan naik menjadi 10.0 - pada perjalanan waktu ternyata harga malah turun menjadi -10.0 pertanyaan 8230gimana kira2 dr 2 kasus tsb - unsur harapan (spekulasinya ) ada - pembelian awal harga sepakat - keuntungan masih tanda tanya8230karena tidak ada kesepakatan harga dgn calon pembeli Sekilas beli duren di desa dan menjualnya di kota mirip dengan jual-beli Forex. Padahal jika dipikir jauh, banyak sekali perbedaannya. Di antaranya kita beli duren atau misalnya beras di desa kemudian menjualnya di kota, terlepas kita akan untung atau rugi, kita telah bermanfaat bagi orang banyak. Bagi petani kita membeli beras mereka. Bagi orang kota, mereka bisa membeli beras tanpa harus jauh2 pergi ke desa. Itu pahalanya besar. Tanpa ada pedagang beras, orang kota bisa kelaparan. Sebaliknya Forex, orang jual-beli forex itu melalui perantara Forex di situ2 saja. Padahal tanpa spekulan Forex pun orang bisa beli Forex lewat perantara yg resmi. Justru adanya spekulan ini berpotensi menaikkan harga Forex yg akhirnya bisa juga menjatuhkannya. Jadi tak ada manfaatnya. Salah satu syarat jual-beli yang sah adalah kita tidak boleh menjual barang di tempat/pasar yang sama dengan tempat/pasar kita membeli. Ini agar harga2 di tempat yg sama tidak naik karena ulah spekulan: Dari Ibnu Umar, Pada suatu hari, aku membeli minyak di pasar. Setelah aku selesai mengadakan transaksi, ada orang yang menemuiku dan dia mau membeli minyak tersebut dengan memberi keuntungan yang bagus untukku. Di akhir-akhir pembicaraan, aku ingin menjabat tangannya sebagai pertanda terjadi akad jual beli, namun dari belakang terdapat seseorang yang memegangi tanganku. Setelah kutoleh, ternyata dia adalah Zaid bin Tsabit. Zaid mengatakan, 8216Jangan kau jual minyak di tempat engkau membelinya, sampai kau pindah dulu ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu 8216alaihi wa sallam melarang barang dagangan yang dibeli itu dijual kembali di tempat pembelian, sampai para pedagang membawanya ke tempatnya masing-masing.8217 (HR. Abu Daud, no. 3501 dengan sanad yang hasan) Jual-beli Forex, umumnya orang membeli dan juga menjual Forex lewat perantara/bursa yang sama. Perhatikan ayat di bawah bagaimana orang yang mengambil riba disiksa di neraka karena berdalih kan jual-beli (misalnya beras/duren) sama dgn riba: 8220Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba82308221 Al Baqarah 275 Mudah2an kita terhindar dari itu. JIka kita investasi yang awalnya bidang perdaganagnya jelas terus ternyata setelah itu berubah ( misal ternyata untuk di tradingkan ke forex oleh si pengelola ) bagaimana itu Syukro. Saya mau tnya, saya sdang membeli rumah, skg msh dbangun oleh pngembang dan realisasix skitar 6 buln lg. Uang yg akan gunakan utk mlunasi saat realisasi sy belikan emas (logam mulia) dg prdiksi pd saat realisasi nanti emas trsebut mpunyai harga yg lebih tinggi. Hal yg sy lakukan ini haram ato halal Mhon pnjelasanx scra detail. Tidak. Justru anda mendekati sunnah Nabi karena nabi membayar dgn emas atau perak. Harga emas kan berubah-ubah juga terhadap Rupiah, bisa naik dan bisa turun. Bagaimana penjelasannya mengenai unsur spekulasi disini Mohon pencerahannya Pak.. saya ingin menyimpulkan sedikit tentang syariah yang saya tau mengenai transaksi jualbeli/barter (Murabahah), investasi (mudharabbah) adalah: (untuk selebihnya saya minta pencerahannya) HALAL: bila barang yang diperjual-belikan ada secara nyata(wujud, bisa dilihat, diraba dan dipegang) sehingga tidak terjadi unsur spekulasi (seperti membeli kucing dalam karung) dan terjadi kesepakatan antara dua belah pihak. HARAM: bila transaksi tidak disertai barang yang akan dijual maupun dibeli. oleh karnanya perdagangan dilakukan di tempat yang disebut 8220pasar8221, tempat bertemunya pedagang dan pembeli. pertanyaan: bagaimana kalau perdagangan dilakukan secara online, mengingat semakin majunya jaman, perdagangan antar negara sudah dipastikan menggunakan 8220pasar maya8221, dimana antara pedagang dan pembeli tidak bertemu secara langsung karna keterbatasan jarak dan tidak adanya barang dagangan secara wujud sampai terjadi kesepakatan dalam proses jualbeli diantara keduabelah pihak HALAL: penukaran uang harus bernilai sama 1:1, apakah itu dengan mata uang yang sama maupun berbeda, apabila mata uang berbeda maka menggunakan kurs mata uang yang berlaku saat penukaran. Mengumpulkan uang dengan tujuan untuk digunakan (menabung), bukan untuk mencari keuntungan. HARAM: terjadi selisih/berbeda jumlah nilai tukar pada mata uang yang sama. mengumpulkan/menyimpan uang dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari perubahan nilai mata uang. memperjual belikan atau menukar barang dengan jenis yang sama, uang dengan uang, karna ada unsur mengambil untung, secara prinsip uang adalah nilai tukar bukan barang dagangan. Sejarah uang: uang kertas, uang logam atau nilai tukar lainnya dicetak/dibuat berdasarkan atas cadangan emas/perak yang dimiliki oleh suatu negara. Semakin banyak cadangan emas/peraknya semakin banyak uang yang dicetak. Apabila suatu negara mencetak uang tanpa memperhitungkan cadangan emas/perak, maka akan terjadi inflasi. Pada prinsipnya uang yang kita gunakan sekarang adalah mewakili fisik emas atau perak sebagai nilai tukar yang telah digunakan sejak jaman dahulu. Contoh: 1gr emas 1 lembar uang kertas/5 bh uang logam, maka 2gr emas 2 lembar uang kertas/10 bh uang logam. Inflasi adalah turunnya nilai mata uang BUKAN naiknya harga emas. HALAL: berinvestasi atau memberikan modal kepada seseorang untuk melakukan transaksi perdagangan dengan bagi hasil keuntungan. HARAM: bila bagi hasil keuntungan bersifat flat atau sudah ditentukan sebelum transaksi jual beli/perdagangan dilakukan, ini sama dengan RIBA. Terkadang kita terjebak dengan istilah persentase, bahwa semua transaksi bila menggunakan parameter persen akan menjadi riba. Padahal menurut saya pribadi, persentase akan lebih relevan pada saat pembagian keuntungan, karna nilai akhirnya akan berubah menyesuaikan faktor pengalinya. Justru menjadi riba pada saat pembagian keuntungan langsung disebutkan dalam bentuk jumlah uangnya. contoh: pembagian keuntungan 50:50, kalo untung 1000 maka 500, untung 100 maka 50, kalo rugi Maka faktor pengalinya akan menjadi 0, jadi tidak ada yang dapat keuntungan. Pembagian keuntungan 1000, untung 5000 dapat 1000, untung 10000 dapat 1000. (ini yang saya maksud dengan riba). Karna bila rugi, investor tetap akan dapat 1000. HALAL: Memberikan pinjaman tanpa ada penambahan nilai saat pengembalian (bunga), diperbolehkan apabila si peminjam melebihkannya atas dasar ikhlas (rasa terima kasih) ini kita sebut sebagai hadyah. Pembelian barang dengan sistem kredit, mengambil keuntungan dengan margin tertentu. Misal calon kreditur ingin membeli beli motor dengan kredit bank, maka bank akan membeli motor dari dealer seharga 1000, dan menjualnya kembali ke calon kreditur senilai 1200 dengan pembayaran jangka waktu tertentu yang telah disepakati HARAM: Memberikan pinjaman dengan mengharapkan nilai lebih dari pengembalian (membungakan uang) Memberikan cicilan kredit dengan menambahkan bunga untuk mendapatkan keuntungan. Apabila kreditur tidak dapat membayar cicilan maka saldo bertambah dan terjadilah bunga berbunga. Dalam hal ini bunga menggunakan sistem persentase (berbanding terbalik dengan bagi hasil), sehingga akan mempengaruhi nilai akhirnya (floating). Kesimpulannya: Segala sesuatu yang nilai akhirnya bersifat floating (seperti bunga persentase), belum jelas atau belum ada kepastian, spekulasi (menebak-nebak hasil akhir), dan menukar barang dengan barang yang sama tanpa sistem 1:1, adalah HARAM. HALAL: bila barang yang diperjual-belikan ada secara nyata(wujud, bisa dilihat, diraba dan dipegang) sehingga tidak terjadi unsur spekulasi (seperti membeli kucing dalam karung) dan terjadi kesepakatan antara dua belah pihak. bagaimana hukumnya dengan jual-beli pulsakarena setahu saya pulsa itu tidak kita ketahui bentuknya, tidak bisa diraba dan dipegang. kurang tepat jika dikaitkan dgn forex meskipun sama2 tidak bisa di pegang kalau pulsa jelas transaksinya, maksudnya jika mau beli pulsa 5rb harga 6rb langsung di bayar cash dan nilai pertambahan pulsanya langsung beku8230.beda dgn trading forex yg terikat kontrak8230.kurs naik turun maka saat kita beli dengan kontrak, uang terombang ambing dan tidak baku nilainya82308230.beda kalau kita melakukan pembelian mata uang negara lain secara tunai dan langsung di bekukan berapa nilainya waktu kita membeli8230..tidak terikat kontrak823082308230.ini termasuk pasal MUI yg ke 18230kalau terikat kontrak termasuk pasl 2,3,4 haram Jual-Beli pulsa halal jika jelas. Yaitu nilai pulsa bisa dilihat pertambahannya sesuai dgn yang kita beli. Misalnya usai mengisi kita dapat SMS nilai pulsa yg bisa kita LIHAT . 8220Terimakasih telah membeli pulsa. Pulsa anda bertambah Rp 50.000 sekarang menjadi RP 70 ribu dgn masa berlaku hingga 1 bulan ke depan. Tapi jika tidak jelas/tidak transparan, tetap saja haram karena dikhawatirkan ada penipuan. klw anda raguragu akan swatu hal maka tinggalkan lah.. klw anda raguragu dngn forex maka tinggalkanlah.. krna kyakianan akan mngalahkan keragu8221an8230

No comments:

Post a Comment